Category Archives: Musik

System Of A Down, Band Metal Bukan Program Komputer


System of A Down bukanlah nama sebuah System atau program di Komputer, tapi nama sebuah band dari Amerika sana. Dari mendengar namanya saja pasti yang terpikir di benak kita adalah sebuah band yang sangat urakan, berandal, cadas, keras, gahar.

Memang betul rata – rata iramanya seperti itu. Dengan sentuhan metal, rock, sedikit ballad, unik dengan campuran Arabic Music khas Armenia di dalam lagu – lagu mereka. Dulu, ketika aku mendengar lagu-lagu SOAD, aku berfikir bahwa si vokalis seperti sedang mengaji. Tapi jika kita mau sedikit mengartikan, menyimak, dan memahami arti dari lagu – lagu mereka, sungguh sangat penuh makna, masalah politik, sosial, kemanusiaan, globalisasi, konsumerisme, pembajakan, dan ramah lingkungan sesuai dengan kondisi yang terjadi di dunia.

Band ini terdiri dari 4 orang, yaitu Serj Tankian pada vokalis yang juga lihai bermain keyboard, Daron Malakian pada gitar, Shavo Odadjian pada bass, dan John Dolmayan di bagian drum. Sungguh nama – nama yang sangat berbau Armenia. Armenia adalah suatu daerah yang berada dan cukup berpolemik dengan Negara Turki. Keempat orang ini, memang berasal dari Armenia dan mengembangkan bakat musik mereka di Amerika Serikat.

Sebagai punggawa dan front man band ini tentu saja adalah si vokalis, Serj Tankian. Hampir sebagian besar lagu – lagu pada SOAD diciptakan oleh Serj. Serj juga disinyalir beragama Islam. Di dalam lagu – lagu mereka, sangat jarang, bahkan mungkin tidak ada lagu yang bertemakan cinta-cintaan. Semua sarat dengan kepedulian terhadap manusia, korban perang, dan keseimbangan alam. Hal ini dapat dilihat di semua lagu-lagu dan video klipnya, seperti BYOB ( Bring Your Own Bomb ) yang berisikan ketidaksetujuan mereka terhadap perang yang terjadi di Afganistan dan ulah para tentara Bush. Ada juga lagu Toxicity yang menjadi lagu favoritku selain lagu Hypnotize dan Kill Rock and Roll.

Toxicity bercerita tentang kehancuran yang diciptakan karena adanya perang terus menerus yang dilancarkan Bush yang membuat ribuan tentara dan warga sipil meninggal. Sangat terlihat jelas bahwa mereka sangat menentang invasi yang dilakukan selama pemerintahan Bush ke Irak dan Afganistan. Lantas mereka menuangkannya ke dalam lagu – lagu mereka yang tentu saja menuai kritikan dari pemerintah yang merasa tersindir. Yah orang kalo tersindir berarti memang benar kan apa yang ditulis oleh SOAD. Sangat terlihat dalam lagu – lagu mereka pengaruh dari si Vokalis yang ternyata memang adalah seorang aktivis yang rajin membela hak-hak warga Armenia yang terpinggirkan. Serj lah seorang vokalis yang ketika teman- teman band nya syuting video klip namun dia malah demo di jalanan.

Serj lah yang mebuat SOAD sangat vocal dan membuat serta membantu manusia menyadari manusia bahwa masalah yang dihadapi masyarakat dunia dewasa ini sangat berpengaruh dan global. Tidak tampak kecengengan dalam lagu – lagu mereka. Tidak mendamba-damba cinta yang mendayu-dayu seperti band melayu. Yang ada adalah pembahasan masalah yang serius dan sangat pintar. Mereka pintar membahasakan lagu mereka dalam bentuk syair.

Video klip nya pun tidak berlebihan dan aneh- aneh. Khas anak metal dengan pakaian kaos ala kadarnya. Itulah perbedaan besar band-band barat dengan asia. Band – band barat tidak menjual efek panggung serta aksesoris dan item yang berlebihan. Hanya memperlihatkan skill sedikit gambaran bagaimana perang yang terjadi selama ini. Tapi di video klip Toxocity, sangat terlihat ketampanan Serj. Padahal dia hanya memakai kaos dan celana panjang saja.

Walaupun sangar di luar, justru System of A Down sangat anti Kekerasan. Jadi, janganlah menilai sesuatu dari luarnya. Walaupun dikemas dengan keras dan metal, isinya sangat berbeda. Aku menyukai System of A Down karena isi dan makna lagu-lagunya.

EdanE


“MARI sini ikuti aku.. nyanyikan lagu-lagu yang beraneeeeee….” Lengkingan vokal Ecky Lamoh masih begitu nyaman di telingaku. Meski kini terdengar lewat speaker aktif di komputer, auranya masih sama seperti 20 tahun lalu, saat aku pertama kali mendengarkannya lewat tape recorder.

Pun nuansa hatiku yang tercipta lantaran lagu tersebut tak berubah, meski hanya kudengar perlahan, lantaran khawatir anakku terganggu. Berbeda dengan dulu, 20 tahun lalu, yang selalu kuputar keras-keras di dalam kamar.

Syair di atas merupakan penggalan lirik lagu “Ikuti” milik Ecky dan kelompoknya, EdanE, yang dia gagas bersama Eet Sjahranie (gitar), Iwan Xaverius (bass), dan Fajar Satriatama (drum). Ya, EdanE! Mereka memang sudah dikenal “edan” sejak pertama kali kemunculannya.

Bagaimana tidak edan, jika masing-masing dari personelnya memiliki kemampuan bermusik yang mumpuni. Sebelum bergabung dengan Edane, Ecky sempat berkibar dengan El Pamas, bersama gitaris andal Totok Tewel. Begitu juga Iwan dan Fajar, yang sempat bersinar bersama Jet Liar.
Eet? Siapa yang tak mengenal sosok gitaris eksentrik ini. Berkat gitarannya yang dahsyat, pria kelahiran Bandung, 3 Februari 1962 ini bahkan sempat didaulat menggantikan gitaris legendaris Ian Antono, di supergrup Godbless. Sebelumnya, Eet juga sempat terlibat proyek bersama Ekki Soekarno, selain bergabung dengan grup Superdigi dan Cynomadeus.

Kematangan awak EdanE memainkan alat musik terlihat betul di album pertama ini. Pada lagu instrumental “Evolusi” dan “Opus 13″, Eet memperdengarkan permainan gitar yang super wah. Sementara paga lagu “Menang atau Tergilas”, Fajar bermain drum bagaikan orang kesetanan. Permainan double pedal, yang sebelumnya lebih sering didengar di lagu-lagu thrash metal, digeber Fajar dengan harmonisi gitar Eet. Wuiihhhhh!

Tak heran, sejak kemunculannya, EdanE langsung mendapat sorotan luas. Raungan gitar Eet yang khas, lengkingan vokal Ecky, dentum bass, serta gebukan drum Iwan dan Fajar, benar-benar memberi nuansa baru dalam peta musik rock Indonesia, ketika itu.

Tak heran, EdanE, tak hanya diakui di kalangan penggemar musik. Di kalangan sesama musisi, nama mereka juga menjadi salah  satu “role model”.

Memang, EdanE sempat mendapat pengalaman tak enak saat membuka konser Sepultura di Stadion Lebak Bulus, pada tahun 1992. Ketika itu, lantaran tak sabar menunggu penampilan Sepultura EdanE menjadi bulan-bulanan penonton.

Namun, bagiku, EdanE tetaplah salah satu grup rock terbaik. Musik-musiknya selalu mendapat tempat di hati ini. Dulu, nyaris semua lagu di album “The Beast” ini, kuhapal.
Kasetnya pun, yang keluaran AIRO Records masih kusimpan rapi, meski telah jarang kuputar. Selain “Ikuti”, lagu-lagu seperti “The Beast”, “Liarkan Rasa”, ataupun “Menang atau Tergilas”, selalu mengingatkanku akan masa dulu. Masa-masa yang penuh kenangan, indah, tentu saja.

Di album kedua, Jabrik, yang dirilis tahun 1994, Eet makin menunjukkan kapasitasnya sebagai gitaris andal. Di lagu “Jabrik (Big Town)”, “Call Me Wild”, dan “Pancaroba” Eet memamerkan kecepatan tangannya di dawai-dawai gitar, khas gaya gitaris shredder. Makin cinta aku jadinya.

Kegilaan para personel Edane memainkan musik rock dalam tempo tinggi tetap mereka pelihara di album-album selanjutnya. Sebut saja Borneo (1996), 170 Volts (2002), Time to Rock (2005), hingga Edan (2010).
EdanE memang selalu serius dalam membuat album. Tak heran, meski tak selalu laris di pasaran, album-album mereka selalu everlasting, lantaran dipersiapkan dan digarap secara matang. Bahkan, konon, untuk satu albumnya, EdanE biasa menghabiskan 100 shift di studio rekaman! Padahal, umumnya, setiap grup hanya membutuhkan 30-45 shift untuk menuntaskan sebuah album rekaman dengan jumlah 10-12 lagu.

Hebatnya, ciri khas musik mereka tak berubah, meski nyaris di setiap albumnya, Edane selalu berganti vokalis. Mulai dari Ecky di album The Beast, Heri “Ucok” Batara (Jabrik dan Borneo), Trison Manurung (170 Volts), Robbie Matulandi (Time to Rock), hingga vokalis tambahan Ervin Nanzbakri (Edan).

Ya, gaya gitaran Eet memang tetap menjadi nyawa musik Edane. Hal ini rasanya wajar, karena sejak awal, konon, Eet sebenarnya hanya ingin membentuk duo dengan Ekcy Lamoh. Bahkan, nama EdanE awalnya juga merujuk dari nama kedua sosok ini, Eet dan Ecky.